MENAKAR EKSISTENSI SEKOLAH SATU ATAP




SMP Satu Atap (Satap) adalah salah satu upaya pemerintah untuk mengejar ketercapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP sebesar 95%  di tahun 2008. Pengembangan Satap pun memiliki syarat terisolir, terpencil, terpencar, berdasarkan pada kebutuhan masyarakat (social demand approach) dan dalam perencanaan melibatkan masyarakat. Maka mulai tahun 2006 didirikanlah sekolah-sekolah Satap di perbagai wilayah Indonesia tak terkecuali di Kabupaten Magelang. Pada saat awal terbentuk dua sekolah satap di Borobudur dan Pakis. Dalam perkembangannya saat ini menjadi sekitar 8 Satap.
Keberadaan sekolah satap pada awal pendiriannya sudah barang tentu sangat dibutuhkan masyarakat. Karena masyarakat menjadi mudah dalam memperoleh pendidikan setingkat SMP setelah lulus dari SD. Salah satu kesulitan masyarakat pada saat itu adalah jauhnya lokasi SMP terdekat dari SD karena lokasinya yang terpencil. Sehingga banyak sekali lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah. Kondisi tersebut akan menghambat ketuntasan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan pemerintah kemudian didirikanlah Sekolah Satap yang memiliki berbagai macam model pengelolaan. Salah satu model pengelolaan sekolah satap adalah adanya dua lembaga (SD-SMP) dengan dikepalai oleh seorang Kepala Sekolah. Hal ini pula yang diterapkan di sekolah-sekolah satap di Kabupaten Magelang. Kini setelah 13 tahun berjalan bagaimanakah eksistensi sekolah satap menghadapi tuntutan perkembangan zaman dan perkembangan perundang-undangan yang berlaku?
Sarana dan Prasarana
Keberadaan sebuah sebuah sekolah yang baik haruslah memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan yaitu Standar Isi, Proses, Penilaian, Kompetensi Lulusan, Pengelolaan, Pembiayaan, Sarana prasarana dan Tenaga Kependidikan. Standar Sarana Prasana mensyaratkan adanya ruang kelas yang memadai, Laboratorium IPA, Perpustakaan, Ruang Guru, Ruang Pimpinan, Ruang Tata usaha dan prasarana penunjang lainnya seperti Ruang BK, OSIS, tempat ibadah, lapangan olah raga, kamar kecil, gudang dan parkir. Sekolah satap pada awal pendiriannya adalah pengembangan SD yang memiliki luas lahan terbatas dan sarana prasarana yang terbatas pula. Sebut saja sebagai contoh adalah SMPN 3 Satu Atap Borobudur yang hanya memiliki luas lahan 2700 m2 untuk SD dan SMP. Pada lahan seluas ini sudah barang tentu akan sulit untuk didirikan semua sarana prasarana tersebut dengan ukuran sesuai standar Permendiknas No 24 tahun 2007. Apalagi karena letaknya yang berada di daerah pegunungan maka lahan tersebut banyak yang terletak di lereng-lereng perbukitan. Kendala lahan otomatis akan menghambat penerimaan bantuan ruang kelas baru ataupun ruang lainnya dari pemerintah.
Bantuan pembangunan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Pemerintah yang diterima dengan desain satu lantai menyulitkan sekolah untuk membangunnya. Bahkan karena ketiadaan lahan acapkali bantuan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sedangkan untuk pengadaan lahan baru dengan dana swadaya dari masyarakat sangatlah sulit dilakukan mengingat keberadaan orang tua siswa yang kebanyakan (80%) adalah pra sejahtera. Setali tiga uang dengan kondisi pengadaan lahan adalah jika pembangunan dilaksanakan untuk gedung bertingkat. Swadaya pengecoran lantai dua sangat sulit dilaksanakan. Kondisi ini membuat standar sarana dan prasarana dari sekolah satap memperoleh nilai minim dalam akreditasi sekolah. Pun pula akan menghambat pelayanan yang maksimal pada siswa.
SDM dan Manajemen Sekolah
Keberadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya pada awal pendirian adalah guru-guru SD yang diperbantukan. Pada tahun pertama juga dilakukan perekrutan Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk memenuhi kebutuhan SDM. Tuntutan perundang-undangan mensyaratkan guru adalah seorang sarjana S1 dan memiliki linearitas antara mata pelajaran yang diampu dengan ijazah. Pemerintah daerah beberapa kali mengangkat PNS yang ditempakan di sekolah-sekolah satap walaupun jumlahnya sangat terbatas. Di sebuah SMP Satap rata-rata hanya memiliki 3-6 PNS, selainnya itu adalah GTT. Sedangkan untuk Kepala Tata Usaha maupun tenaga adminstrasi lainnya rata-rata di sekolah satap adalah PTT.
Peraturan Mendikbud Nomor 15 tahun 2018 yang mengatur beban kerja guru di induk dan non induk mewajibkan guru PNS mengajar di induk minimal 18 jam dengan jam tatap muka wajib 12 jam dan lainnya jam tugas tambahan. Untuk satap dengan jumlah rombongan belajar hanya 3 kelas tentu saja ini sangat sulit untuk terpenuhi. Apalagi untuk mata pelajaran-mata pelajaran yang jumlah jam nya dibawah 4 jam. Ambilah contoh seorang guru Pendidikan Jasmani Olah Raga dan Kesehatan yang jamnya 3 jam per minggu. Maka guru tersebut akan memiliki jam tatap muka 9 jam. Hal ini tentu saja tidak memenuhi jam wajib tatap muka. Resiko yang di hadapi guru tersebut antara lain adalah tidak mendapatkan tunjangan profesi
Bagaimana jika hal tersebut di balik? Misalkan ia pindah induk dan di satap menjadi non induk? Secara teknis bagi guru yang bersangkutan memang ‘aman’. Akan tetapi jika dilihat dari kepentingan siswa dan sekolah hal tersebut adalah merugikan. PNS memiliki peran vital bagi sekolah dan siswa. Mereka tidak hanya berperan sebagai pengajar akan tetapi juga sebagai pengelola dan pembentuk karakter bagi siswa. Bayangkan jika mereka hanya datang di sekolah satu atau dua hari, karakter yang bagaimanakah yang diharapkan akan terbentuk pada siswa?
Keberadaan guru baik PNS maupun GTT yang linear di sekolah Satap menjadi vital karena tuntutan perundang-undangan dan perkembangan dunia pendidikan pada saat ini. Namun secara bertahap dan mandiri banyak guru GTT maupun PNS yang meningkatkan kapasitasnya. Bahkan sudah banyak guru sekolah satap yang bergelar S2.
Siswa dan kebutuhan Masyarakat
Sekolah satap sangat dibutuhkan bagi siswa karena memiliki berbagai kemudahan dari segi jarak dan finansial. Siswa yang berasal dari SD sekitar tidak harus mengeluarkan biaya transportasi lebih banyak jika sekolah di satap. Apalagi jika kondisi geografis satap adalah perbukitan maka perjalanan ke sekolah hanya dapat di tempuh dengan jalan kaki. Orang tua sangat terbantu dengan keberadaan sekolah satap.
Input siswa satap memang terbatas. Jarang sekali terjadi seleksi nilai. Akan tetapi potensi-potensi siswa satap tetaplah sama seperti sekolah lain. Salah satu contohnya adalah seorang siswa satap pernah mewakili Kabupaten ke Tingkat Nasional di bidang sains roket air. Lulusan sekolah satap pun tidak kalah dari sekolah lain. Alumni sekolah Satap Borobudur misalnya ada yang di terima di STAN, di UIN Suka Yogyakarta, UNY dan perguruan tinggi lainnya. Ada pula yang telah mengabdi di TNI/Polri ataupun pemerintahan.
Pembiayaan
Hal krusial yang menjadi perhatian sekolah satap adalah tentang pembiayaan. Pembiayaan yang ada hanyalah mengandalkan dana BOS. Padahal besaran BOS adalah sebanding dengan jumlah siswa. Pada sekolah dengan siswa sedikit otomatis dana BOS juga sedikit. Sementara kebutuhan sekolah hampir sama dengan sekolah lainnya. Belum lagi biaya BOS juga untuk pembayaran honor GTT/PTT.
Sebaiknya ada perhatian yang cukup baik dari pemda tentang honor ini karena jika pembiayaan mengandalkan dari BOS saja sudah barang tentu tidak akan cukup dan akan mengganggu program lainnya. Salah satu contohnya adalah di Pemkab Magelang,  mulai tahun 2019 GTT yang lolos Ujian Kompetensi mendapatkan honor dari Pemda sebagai Guru Pengganti. Guru Pengganti ini mendapatkan honor setara UMK. Sementara untuk PTT baru mendapatkan Bosda.
Satu simpulan yang dapat ditarik dari paparan diatas antara lain keberadaan sekolah satap masih sangat diperlukan bagi lulusan SD di sekitar akan tetapi Pemerintah perlu memperhatikan kesediaan lahan untuk penambahan Prasaran pelengkap sekolah seperti Lab dan perpustakaan.
Ditengah ketidak pastian nasib pengangkatan GTT menjadi PNS Pemerintah Daerah memberikan jalan keluar bagi peningkatan kesejahteraan GTT dan PTT. Sementara itu pula Pemerintah seyogyanya memperhatikan kewajiban jam mengajar PNS di sekolah satap yang memiliki kelas kecil sehingga kepentingan siswa untuk mendapatkan pelayanan maksimal dan kepentingan guru untuk mendapatkan tunjangan profesi sesuai kompetensi yang dimilikinya juga terpenuhi.
SMP Satu Atap (Satap) adalah salah satu upaya pemerintah untuk mengejar ketercapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP sebesar 95%  di tahun 2008. Pengembangan Satap pun memiliki syarat terisolir, terpencil, terpencar, berdasarkan pada kebutuhan masyarakat (social demand approach) dan dalam perencanaan melibatkan masyarakat. Maka mulai tahun 2006 didirikanlah sekolah-sekolah Satap di perbagai wilayah Indonesia tak terkecuali di Kabupaten Magelang. Pada saat awal terbentuk dua sekolah satap di Borobudur dan Pakis. Dalam perkembangannya saat ini menjadi sekitar 8 Satap.
Keberadaan sekolah satap pada awal pendiriannya sudah barang tentu sangat dibutuhkan masyarakat. Karena masyarakat menjadi mudah dalam memperoleh pendidikan setingkat SMP setelah lulus dari SD. Salah satu kesulitan masyarakat pada saat itu adalah jauhnya lokasi SMP terdekat dari SD karena lokasinya yang terpencil. Sehingga banyak sekali lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah. Kondisi tersebut akan menghambat ketuntasan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan pemerintah kemudian didirikanlah Sekolah Satap yang memiliki berbagai macam model pengelolaan. Salah satu model pengelolaan sekolah satap adalah adanya dua lembaga (SD-SMP) dengan dikepalai oleh seorang Kepala Sekolah. Hal ini pula yang diterapkan di sekolah-sekolah satap di Kabupaten Magelang. Kini setelah 13 tahun berjalan bagaimanakah eksistensi sekolah satap menghadapi tuntutan perkembangan zaman dan perkembangan perundang-undangan yang berlaku?
Sarana dan Prasarana
Keberadaan sebuah sebuah sekolah yang baik haruslah memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan yaitu Standar Isi, Proses, Penilaian, Kompetensi Lulusan, Pengelolaan, Pembiayaan, Sarana prasarana dan Tenaga Kependidikan. Standar Sarana Prasana mensyaratkan adanya ruang kelas yang memadai, Laboratorium IPA, Perpustakaan, Ruang Guru, Ruang Pimpinan, Ruang Tata usaha dan prasarana penunjang lainnya seperti Ruang BK, OSIS, tempat ibadah, lapangan olah raga, kamar kecil, gudang dan parkir. Sekolah satap pada awal pendiriannya adalah pengembangan SD yang memiliki luas lahan terbatas dan sarana prasarana yang terbatas pula. Sebut saja sebagai contoh adalah SMPN 3 Satu Atap Borobudur yang hanya memiliki luas lahan 2700 m2 untuk SD dan SMP. Pada lahan seluas ini sudah barang tentu akan sulit untuk didirikan semua sarana prasarana tersebut dengan ukuran sesuai standar Permendiknas No 24 tahun 2007. Apalagi karena letaknya yang berada di daerah pegunungan maka lahan tersebut banyak yang terletak di lereng-lereng perbukitan. Kendala lahan otomatis akan menghambat penerimaan bantuan ruang kelas baru ataupun ruang lainnya dari pemerintah.
Bantuan pembangunan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Pemerintah yang diterima dengan desain satu lantai menyulitkan sekolah untuk membangunnya. Bahkan karena ketiadaan lahan acapkali bantuan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sedangkan untuk pengadaan lahan baru dengan dana swadaya dari masyarakat sangatlah sulit dilakukan mengingat keberadaan orang tua siswa yang kebanyakan (80%) adalah pra sejahtera. Setali tiga uang dengan kondisi pengadaan lahan adalah jika pembangunan dilaksanakan untuk gedung bertingkat. Swadaya pengecoran lantai dua sangat sulit dilaksanakan. Kondisi ini membuat standar sarana dan prasarana dari sekolah satap memperoleh nilai minim dalam akreditasi sekolah. Pun pula akan menghambat pelayanan yang maksimal pada siswa.
SDM dan Manajemen Sekolah
Keberadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya pada awal pendirian adalah guru-guru SD yang diperbantukan. Pada tahun pertama juga dilakukan perekrutan Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk memenuhi kebutuhan SDM. Tuntutan perundang-undangan mensyaratkan guru adalah seorang sarjana S1 dan memiliki linearitas antara mata pelajaran yang diampu dengan ijazah. Pemerintah daerah beberapa kali mengangkat PNS yang ditempakan di sekolah-sekolah satap walaupun jumlahnya sangat terbatas. Di sebuah SMP Satap rata-rata hanya memiliki 3-6 PNS, selainnya itu adalah GTT. Sedangkan untuk Kepala Tata Usaha maupun tenaga adminstrasi lainnya rata-rata di sekolah satap adalah PTT.
Peraturan Mendikbud Nomor 15 tahun 2018 yang mengatur beban kerja guru di induk dan non induk mewajibkan guru PNS mengajar di induk minimal 18 jam dengan jam tatap muka wajib 12 jam dan lainnya jam tugas tambahan. Untuk satap dengan jumlah rombongan belajar hanya 3 kelas tentu saja ini sangat sulit untuk terpenuhi. Apalagi untuk mata pelajaran-mata pelajaran yang jumlah jam nya dibawah 4 jam. Ambilah contoh seorang guru Pendidikan Jasmani Olah Raga dan Kesehatan yang jamnya 3 jam per minggu. Maka guru tersebut akan memiliki jam tatap muka 9 jam. Hal ini tentu saja tidak memenuhi jam wajib tatap muka. Resiko yang di hadapi guru tersebut antara lain adalah tidak mendapatkan tunjangan profesi
Bagaimana jika hal tersebut di balik? Misalkan ia pindah induk dan di satap menjadi non induk? Secara teknis bagi guru yang bersangkutan memang ‘aman’. Akan tetapi jika dilihat dari kepentingan siswa dan sekolah hal tersebut adalah merugikan. PNS memiliki peran vital bagi sekolah dan siswa. Mereka tidak hanya berperan sebagai pengajar akan tetapi juga sebagai pengelola dan pembentuk karakter bagi siswa. Bayangkan jika mereka hanya datang di sekolah satu atau dua hari, karakter yang bagaimanakah yang diharapkan akan terbentuk pada siswa?
Keberadaan guru baik PNS maupun GTT yang linear di sekolah Satap menjadi vital karena tuntutan perundang-undangan dan perkembangan dunia pendidikan pada saat ini. Namun secara bertahap dan mandiri banyak guru GTT maupun PNS yang meningkatkan kapasitasnya. Bahkan sudah banyak guru sekolah satap yang bergelar S2.
Siswa dan kebutuhan Masyarakat
Sekolah satap sangat dibutuhkan bagi siswa karena memiliki berbagai kemudahan dari segi jarak dan finansial. Siswa yang berasal dari SD sekitar tidak harus mengeluarkan biaya transportasi lebih banyak jika sekolah di satap. Apalagi jika kondisi geografis satap adalah perbukitan maka perjalanan ke sekolah hanya dapat di tempuh dengan jalan kaki. Orang tua sangat terbantu dengan keberadaan sekolah satap.
Input siswa satap memang terbatas. Jarang sekali terjadi seleksi nilai. Akan tetapi potensi-potensi siswa satap tetaplah sama seperti sekolah lain. Salah satu contohnya adalah seorang siswa satap pernah mewakili Kabupaten ke Tingkat Nasional di bidang sains roket air. Lulusan sekolah satap pun tidak kalah dari sekolah lain. Alumni sekolah Satap Borobudur misalnya ada yang di terima di STAN, di UIN Suka Yogyakarta, UNY dan perguruan tinggi lainnya. Ada pula yang telah mengabdi di TNI/Polri ataupun pemerintahan.
Pembiayaan
Hal krusial yang menjadi perhatian sekolah satap adalah tentang pembiayaan. Pembiayaan yang ada hanyalah mengandalkan dana BOS. Padahal besaran BOS adalah sebanding dengan jumlah siswa. Pada sekolah dengan siswa sedikit otomatis dana BOS juga sedikit. Sementara kebutuhan sekolah hampir sama dengan sekolah lainnya. Belum lagi biaya BOS juga untuk pembayaran honor GTT/PTT.
Sebaiknya ada perhatian yang cukup baik dari pemda tentang honor ini karena jika pembiayaan mengandalkan dari BOS saja sudah barang tentu tidak akan cukup dan akan mengganggu program lainnya. Salah satu contohnya adalah di Pemkab Magelang,  mulai tahun 2019 GTT yang lolos Ujian Kompetensi mendapatkan honor dari Pemda sebagai Guru Pengganti. Guru Pengganti ini mendapatkan honor setara UMK. Sementara untuk PTT baru mendapatkan Bosda.
Satu simpulan yang dapat ditarik dari paparan diatas antara lain keberadaan sekolah satap masih sangat diperlukan bagi lulusan SD di sekitar akan tetapi Pemerintah perlu memperhatikan kesediaan lahan untuk penambahan Prasaran pelengkap sekolah seperti Lab dan perpustakaan.
Ditengah ketidak pastian nasib pengangkatan GTT menjadi PNS Pemerintah Daerah memberikan jalan keluar bagi peningkatan kesejahteraan GTT dan PTT. Sementara itu pula Pemerintah seyogyanya memperhatikan kewajiban jam mengajar PNS di sekolah satap yang memiliki kelas kecil sehingga kepentingan siswa untuk mendapatkan pelayanan maksimal dan kepentingan guru untuk mendapatkan tunjangan profesi sesuai kompetensi yang dimilikinya juga terpenuhi.


Wuryanto Puji Siswoyo, S. Pd.
Penulis adalah Wakil Kepala Sekolah
SMP Negeri 3 Satu Atap Borobudur, Kab.
Magelang
(Alumni Universitas PGRI Madiun-UNIPMA
Anggota Komunitas Yuk Nulis)
 


(dimuat dalam http://www.rakyatpos.com/menakar-eksistensi-sekolah-satu-atap.html/
tanggal 27 Februari 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar